Tahun Baru Imlek dan Hari Cap Go Meh dirayakan oleh komunitas Tionghoa di Indonesia dengan sangat meriah, terutama di kota Medan, Bagan Siapi-Api, Jakarta, Surabaya, Pontianak dan Singkawang. Festival Naga dan Barongsai mendominasi pesta hiburan rakyat, digelar di jalan-jalan kota dan menjadi daya tarik wisata yang bernuansa berbeda. Tradisi perayaan tahun baru Imlek telah diwariskan sejak ratusan tahun yang lalu. Dituliskan oleh DR. Kai Kuok Liang dalam buku Festival Tradisi Budaya Tionghoa, perayaan Imlek dimulai dari daratan Tiongkok. Imlek telah dirayakan pada pada masa Kaisar Huang Ti Yu, tetapi baru merata di masyarakat pada zaman pemerintahan kaisar Chin Che Huang (246 - 210 SM). Pada masa revolusi Xin-Hai, tanggal 10 Oktober 1911 yang dicetuskan DR. Sun Yat Sen, tahun baru Imlek diubah menjadi Festival Musim Semi (Kuo Chun Ciek). Festival ini ditetapkan pemerintah sebagai hari besar nasional yang dirayakan setiap tahun mengikuti tahun baru Masehi. Namun karena sudah lama memasyarakat, perayaan tahun baru Imlek tetap dilangsungkan, termasuk oleh kalangan masyarakat Tionghoa di kota Pontianak. Saat tahun baru Imlek terdapat ungkapan Sin Cia Ju Ie dan Gong Xi Fa Chai. Sin Cia Ju Ie berarti keluarga baru yang sehat, sentosa dan mulus sesuai rencana. Sedangkan Gong Xi Fa Chai adalah ucapan salam bahagia agar makmur bersama. Ada beberapa tradisi yang masih dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Tiong Hua untuk menyambut Tahun Baru China (Imlek) antara lain :
Tradisi Bunga Mei Hua
Tradisi Bunga Mei Hua
Di negeri Tiongkok dikenal terdapat 4 musim, yaitu musim semi, musim panas, musim gugur dan musim dingin. Tahun baru Imlek datang bersamaan dengan musim semi, maka dulu dikenal dengan istilah Festival Musim Semi (Kuo Chun Ciek). Festival ini berlangsung sangat meriah dan pernah dijadikan agenda tahunan oleh pemerintah Cina. Bunga Mei Hua adalah pertanda datangnya musim semi. Itulah sebabnya terdapat tradisi di masyarakat Tionghoa, menggunakan bunga ini sebagai hiasan di rumah ketika Imlek tiba, sehingga terkesan suasana yang sejuk, nyaman dan indah. Tidak ada makna spiritual dalam kehadiran bunga Mei Hua tersebut, yang ada hanya kemeriahan menyambut musim semi. Bunga Mei Hua begitu khas karena hanya bersemi di musim dingin, tumbuh dalam hamparan salju dengan warna bunga pink tanpa daun.
Tradisi Jeruk Bali
Tradisi Jeruk Bali
Buah jeruk bali yang disajikan setiap hari raya Imlek mempunyai kisah dan makna tersendiri. Dalam bahasa Tionghoa, jeruk bali disebut Jik yang juga berarti selamat. Maka timbullah ungkapan Mandarin, Tah Jik, artinya besar selamat atau amat selamat. Buah jeruk bali biasanya diletakkan di atas meja ruang tamu. Buah yang dipilih terutama yang sepasang atau lebih, terutama yang memiliki daun di dekat buahnya. Jeruk bali tersebut ditempeli kertas merah dan juga disajikan di meja altar dekat tempat sembahyang sampai hari Cap Go Meh.
Tradisi Kue Bakul
Tradisi Kue Bakul
Salah satu kue khas perayaan tahun baru Imlek adalah kue bakul. Menurut kepercayaan zaman dahulu, rakyat Tiongkok percaya bahwa anglo dalam dapur di setiap rumah didiami oleh Dewa Tungku. Dewa yang dikirim oleh Yik Huang Shang Ti (Raja Surga) untuk mengawasi setiap rumah dalam menyediakan masakan setiap hari. Setiap tanggal 24 bulan 12 Imlek (enam hari sebelum pergantian tahun), Dewa Tungku akan pulang ke Surga untuk melaporkan tugasnya. Maka untuk menghindarkan hal-hal yang tidak menyenangkan bagi rakyat, timbullah gagasan untuk menyediakan hidangan yang menyenangkan Dewa Tungku. Seluruh warga kemudian menyediakan dodol manis yang disajikan dalam keranjang, disebut Kue Keranjang.Kue Keranjang berbentuk bulat, mengandung makna agar keluarga yang merayakan Imlek tersebut dapat terus bersatu, rukun dan bulat tekad dalam menghadapi tahun yang akan datang. Kue Keranjang disajikan di depan altar atau di dekat tempat sembahyang di rumah.
Tradisi Mercon, Kembang Api, dan Lampion Merah
Tradisi Mercon, Kembang Api, dan Lampion Merah
Menurut legenda, pada zaman dahulu setiap akhir tahun muncul sejenis binatang buas Nian Show yang memangsa apa saja yang dijumpainya. Binatang ini muncul tepat pada saat menjelang tahun baru Imlek. Nian Show berarti tahun (Nian) binatang (Show) dan di dalam penanggalan Imlek dilambangkan dengan 12 jenis binatang yang dikenal dengan shio-shio Tikus, Kerbau, Macan, Kelinci, Naga, Ular, Kuda, Kambing, Monyet, Ayam, Anjing dan Babi. Untuk menjaga diri dari serangan Nian Show, menjelang tahun baru, semua pintu dan jendela di pemukiman penduduk ditutup rapat hingga hari maut itu berlalu. Masing-masing keluarga berkumpul di rumah. Setelah beberapa tahun ternyata Nian Show tidak lagi muncul pada tahun baru Imlek. Hal ini membuat kecemasan masyarakat hilang dan tahun baru dirayakan dengan leluasa. sampai akhirnya pada suatu tahun makhluk ini kembali muncul dan membuat kekacauan. Beberapa rumah penduduk ternyata terhindar dari serangan. Konon hal ini dikarenakan Nian Show takut pada benda-benda yang berwarna merah, juga pada mercon. Sejak itu setiap akhir tahun masyarakat Tionghoa menggantung kain, lampion dan kertas merah di rumah-rumah dengan dilengkapi puisi-puisi indah dalam tulisan, serta memasang mercon dan kembang api untuk mengusir makhluk Nian Show yang berupa hawa jahat.
Tradisi Barongsai dan Naga
Tradisi Barongsai dan Naga
Huang Kun Zhang, seorang guru besar Universitas Jinan menyebutkan, barongsai mulai populer di zaman dinasti Selatan-Utara (Nan Bei) tahun 420-589 Masehi. Kala itu pasukan dari raja Song Wen Di kewalahan menghadapi serangan pasukan gajah raja Fan Yang dari negeri Lin Yi.Seorang panglima perang bernama Zhong Que membuat tiruan boneka singa untuk mengusir pasukan raja Fan. Ternyata upaya itu berjalan sukses hingga akhirnya tarian barongsai pun melegenda hingga kini. Kesenian barongsai diperkirakan masuk di Indonesia pada abad-17, ketika terjadi migrasi besar dari Cina Selatan. Di Tiongkok kesenian barongsai dikenal dengan nama lungwu, namun khusus untuk menyebut tarian singa. Tarian naga disebut shiwu dalam bahasa Mandarin. Sebutan barongsai bukan berasal dari Cina. Kemungkinan kata barong diambil dari bahasa Melayu yang mirip dengan konsep kesenian barong Jawa, sedangkan kata sai bermakna singa dalam dialek Hokkian.Konon naga adalah binatang lambang kesuburan atau pembawa berkah. Binatang mitologi ini selalu digambarkan memiliki kepala singa, bertaring serigala dan bertanduk menjangan. Tubuhnya panjang seperti ular dengan sisik ikan, tetapi memiliki cakar mirip elang. Sedangkan singa dalam masyarakat Cina merupakan simbol penolak bala. Maka tarian barongsai dianggap mendatangkan kebaikan, kesejahteraan, kedamaian dan kebahagiaan. Tarian barongsai dilengkapi replika naga (liong), singa dan qilin (binatang bertanduk). Tetapi tidak semua perkumpulan memainkannya. Kebanyakan hanya topeng singa saja. Alasannya tarian singa dianggap lebih mudah dan praktis dibawakan karena lokasi yang digunakan tidak perlu luas. Atraksi topeng singa hanya membutuhkan dua orang pemain. Seni bela diri menjadi kunci permainan ini sehingga banyak pemainnya berasal dari perguruan kungfu atau wushu. Gerakannya berciri akrobatik seperti salto, meloncat atau berguling. Tarian barongsai biasanya diiringi musik tambur, gong, dan cymbal.
Source: olahan berbagai sumber.
No comments:
Post a Comment