Sunday, September 7, 2008

SANG PEMBAWA CAHAYA

Exclusive photo by Darma, view from One Tree Hill - Taman Simalem Resort

Suatu senja di Taman Simalem, begitulah sebutan bagi sebuah resor di Danau Toba, yang dalam semester pertama di tahun 2008, mulai menggeliat dan banyak dikunjungi orang yang haus akan panorama alam yang mempesona. Dari berbagai belahan dunia, ia telah dikenang walau masih dalam proyek. Sore itu, tidak saja alam sedang melukis keindahan, tetapi juga melukis kesempurnaan. Sangat luar biasa!
Bayangkan, Pulau Samosir dari kejauhan dipeluk kelembutan Danau Toba, ini ditandai dengan terpaan sinar senja mentari di antara bukit dan danau. Bagi siapapun yang dibekali cukup kepekaan, tempat ini layak disebut buku tua bermakna yang dalam. Ia rindu untuk dibaca. Danau dengan airnya adalah simbol kelembutan, gunung dengan batu-batunya adalah simbol ketegasan. Ketika keduanya berpelukan mesra, ia menghasilkan cahaya terang kesejukan. Ia seperti sedang berpesan kepada manusia, (khususnya pemimpin), jadilah sekeras batu dalam mendidik diri sendiri, selembut air dalam melayani orang lain. Percayalah, kamu akan bercahaya penuh kesejukan.
Bunga-bunga Portulaca mekar nan indah disepanjang tebing di atas danau seperti tersenyum memanggil; “Hai manusia… tersenyumlah!”. Karena dalam senyuman, terletak kebahagiaan. Dalam senyuman tersembunyi persahabatan dengan kehidupan. Sangat mudah menemukan kedamaian melalui persahabatan daripada permusuhan.
Ia yang mau mendengar lebih dalam lagi akan mendapat pelajaran, ada bunga dalam sampah, ada sampah dalam bunga. Tidak ada bunga tanpa pupuk yang kerap disebut sampah, dan bunga manapun yang mekar, akan menjadi sampah beberapa hari kemudian. Ini juga terjadi dalam kehidupan manusia, ada kemenangan dalam kekalahan, ada kekalahan dalam kemenangan. Ketika manusia kalah dan tidak membuat ulah, ia sebenarnya sedang menenangkan kemuliaan dirinya.

“We are what we choose”
Tidak banyak orang yang terhubung rapi dengan alam, terutama karena frekuensi batinnya berbeda dengan frekuensi alam. Batin kebanyakan manusia ditandai dengan terlalu banyak ketidak-tenangan (marah, benci, dendam, protes, pembangkang bahkan psikopat, tidak mau mendengar karena terbawa ego), sementara alam sepenuhnya tenang tanpa gangguan.
Bila boleh bandingkan dengan televisi, batin kita seperti TV dengan ribuan saluran. Kemarahan adalah sebuah saluran. Ketenangan adalah saluran lain. Sengaja atau tidak, kitalah yang memilih saluran tersebut. Saat dipuji, orang bisa memilih saluran congkak, saluran tersanjung atau bahkan saluran rendah hati. Nah, ketika dimaki, manusia bisa memilih saluran membalas memaki, atau memilih saluran kesadaran bahwa orang yang memaki sedang membutuhkan welas asih kita. Yang jelas, bukan makian orang yang menghancurkan, tetapi konsekuensi dari memilih saluran kemarahanlah yang menghancurkan (countdown to extinction). Maka, jika para psikolog biasa bilang: “We are what we think”, maka dalam jalur pemahaman ini, istilah tersebut akan menjadi: “We are what we choose’. Kita akan menjadi bagaimana pilihan kita dalam keseharian, ada yang memilih dengan kesadaran terang, ada yang memilih karena kegelapan hawa nafsu.
Itulah sebabnya, mereka yang melatih perjalanan doa dan meditasi yang telah jauh, akan berlatih keras untuk mengelola hawa nafsunya dan pada saat yang sama bekerja keras menghidupkan cahaya kesadaran. Jadi apapun yang terjadi terhadap orang-orang ini, ia selalu memilih saluran kesadaran yang terang, jauh dari hawa nafsu. Ia tidak hanya tersenyum dengan bibirnya, namun juga tersenyum dengan matanya (memandang semua dengan mata batin pengertian, semangat persahabatan, tulus dan ikhlas).
Maka, ada yang menasehatkan less thingking more smiling. Dengan pikiranlah, manusia sering dan kerap tergelincir dalam penderitaan. Melalui senyuman, semua dipeluk dengan kelembutan, yang pada akhirnya menghadiahkan kebahagiaan, kedamaian dan keheningan. Kehidupan boleh berganti dengan kematian, ketenaran boleh berganti dengan keterpurukan, pujian boleh diganti dengan cacian, namun cahaya kesadaran tetap bersinar seperti sinar mentari. Tanpa batas dan tanpa membeda-bedakan.
Lebih jauh dapat disimpulkan bahwa kemarahan adalah sejenis kegelapan. Marah pada kemarahan sama dengan menambahkan kegelapan pada kegelapan. Tersenyumlah pada kemarahan, sadarilah sekaligus waspada untuk tidak mengikuti kemauannya. Terlalu maju tanpa mengikuti kaidah yang seharusnya berlaku, juga memberi rasa ketidaknyamanan dalam persahabatan. Ada pepatah, jika berbicara, bicaralah bagai badai yang sedang menghempas. Jika diam, diamlah laksana lembah. Dengan mengutip kalimat seorang pujangga besar yang hidup di peralihan abad 19 dan 20, yang pada masa itu buah pemikirannya jauh melampaui pemikiran manusia biasa, Sang Nabi dari kota kecil Beshari, di pinggiran Lebanon, Kahlil Gibran, berkata: “ Ternyata tidak hanya lampu hijau yang baik, kita juga butuh lampu merah untuk kita berhenti, melihat dan pergi lagi”.
Pembaca, mari kita berjabat tangan, saling rangkul dan menepuk bahu, bersama kita berdoa, semoga semua makhluk berbahagia (Sabbe satta bhavantu sukhittata). Sadhu… sadhu… sadhu…

Darma at Taman Simalem, awal September '08


No comments: